Headlines News :
Home » » PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH

PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH

Written By MWC LP Maarif Muntilan on Senin, 24 Oktober 2011 | 21.47

Oleh: Muh. Muslih

“Obat” yang ditawarkan Mendiknas Muhammad Nuh atas merosotnya nilai-nilai moral pada anak sekolah secara sekilas nampak cespleng, alias mujarab.  Obat itu bernama pendidikan karakter. Namun sampai sekarang masih dipertanyakan sampai di mana kemujarabannya karena tawuran pelajar juga masih marak. Demikian pula kekerasan antar pelajar juga masih sering kita lihat beritanya di TV.


Pendidikan Karakter di Pesantren dan Sekolah

Sebagai seorang santri, Pak Nuh mungkin sangat terinspirasi oleh kehidupan pesantren dan tata nilai yang terkandung di dalamnya. Di pesantren hampir tak pernah kita dengar adanya tawuran. Kalau pun ada santri yang dihukum oleh seniornya, sepertinya belum ada yang memberitakan santri tewas akibat hukuman tersebut. Hukuman itu, biasanya mulai dari peringatan, rambut digundul hingga harus angkat koper alias dikeluarkan dari pesantren. Itu semua tergantung dari berat ringannya pelanggaran yang dilakukan santri. Satu hal yang tak terbantahkan adalah semua santri, junior maupun senior patuh dan tunduk pada kyai. Selain itu para santri juga sangat mempelajari dan memegang teguh tata cara belajar (learning how to learn) ala kitab Ta’limul Muta’alim, sebuah kitab tipis karya Imam Burhanuddin AZ-Zarnuji berisi sejumlah pedoman belajar dan menuntut ilmu yang menjadi pondasi pembangun motivasi belajar dan akhlak santri.

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa pendidikan karakter di pesantren begitu terlihat nyata hasilnya sementara di sekolah kurang nampak? Seorang santri, meski ia juga menjalani sekolah formal di pesantrennya, kebanyakan terlihat tawadlu (rendah hati) dan patuh kepada orang tua dan guru. Sedangkan di sekolah, meskipun hampir semua sekolah sudah menerapkan poin hukuman bagi siswanya namun itu tak mengurangi keinginan mereka untuk menghantam sekolah lain yang dianggap musuh. Kalau tertangkap polisi, barulah mereka mengatakan khilaf. Terus dikemanakan nasehat-nasehat yang diberikan guru mereka di sekolah. Penulis bertanya-tanya jangan – jangan pendidikan karakter akan bernasib sama dengan program P4 yang dulu digencarkan oleh Orde Baru.

Tiga Kunci Pendidikan Karakter

Mari kita tengok mengapa hal itu bisa terjadi. Kata kunci dalam pendidikan karakter adalah motivasi dan keteladanan yang melekat pada diri sang pendidik.  Selain itu hal yang tak boleh dilupakan adalah doa. Dalam disertasinya, Dr.Manfred Ziemek menyatakan bahwa kekuatan motivasi para pendiri dan penyelenggara pesantren dalam  mendidik santri merupakan amanat keagamaan yang disadarinya.  Bagi mereka: studi, kontemplasi, dan mengajar adalah bentuk-bentuk penyembahan kepada Allah yang disejajarkan dengan puasa dan sembahyang dan dengan begitu merupakan kewajiban-kewajiban agamawi (Ziemek, 1986: 98).

Keteladan merupakan kata kunci ke dua dalam pendidikan karakter. Penulis jadi teringat pada Aa’ Gym, pengasuh Pesantren  Darut Tauhid Bandung, yang dengan tangannya sendiri ikut kerja bakti membersihkan sampah di jalanan sekitar pesantren dalam rangka menciptakan budaya bersih bagi para santri.  Dan itu bukan sekali dua kali beliau lakukan. Tentu itu harus dimaknai sebagai bentuk pengamalan dari perintah Allah yang berarti, “sangatlah dimurkai Allah terhadap orang yang berkata namun tak berbuat”.

Doa menempati ruang khusus bagi para pengasuh pesantren. Hal sampai saat ini masih langgeng di pesantren adalah berdoa untuk mendapat ilmu yang bermanfaat. Biasanya doa itu dibacakan oleh sang kyai saat akan mulai membaca kitab. Setelah selesai pun doa juga dilantunkan bersama-sama. Malam merupakan saat kyai sering memanjatkan doa untuk para santrinya. Penulis jadi teringat dengan cerita almarhum Kyai Himam Dalhar seorang Ketua Dewan Syuro PKB Windusari, Magelang. Katanya, setelah beliau pulang dari masa belajarnya yang lama di pesantren oleh orang tuanya akan dibangunkan pondok pesantren namun ia menolak. Mengapa? Jawabnya karena ia merasa tak kuat untuk bangun dan mujahadah pada malam hari guna mendoakan santri. Rupanya selama mondok, beliau selalu mengamati kegiatan malam kyainya. Dan itulah hal yang membebani pikirannya jika nanti  jadi pengasuh pesantren. Hal itu menggambarkan betapa berat amanah yang disandang para kyai. Padahal, mereka tak memikirkan motif ekonomis dalam menerima santri. Jadi doa pendidik merupakan vitamin yang sangat vital dalam pembentukan karakter santri. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa pendidikan karakter di pesantren  berhasil karena tiga hal, motivasi, keteladanan dan doa pengasuhnya. Pertanyaan berikutnya adalah sudahkah ini dimiliki oleh sekolah?

Implikasi Pendidikan Karakter

Pada tataran filosofis para guru di sekolah mungkin perlu mempertanyakan pada diri kita sendiri. Mengapa kita menjadi pendidik? Apa yang kita harapkan dari kegiatan mendidik dan mengajar? Jawabannya tentu bermacam-macam. Ada yang karena panggilan jiwa, keturunan, ekonomi. Bahkan ada yang menjadikannya untuk meningkatkan status sosialnya.  Motivasi dan niat mengajar tiap hari yang ia lakoni akan sangat berpengaruh pada tindakannya. Sesungguhnya semua guru dan calon guru sudah tahu bahwa mendidik adalah membentuk karakter. Hanya sampai sejauh mana ia bertanggung jawab atas amanah yang diberikan oleh Allah lewat wali murid yang menitipkan anaknya untuk ia didik. Apakah ia meniatkan setiap kali mengajar dengan niat mencari ridlo Allah? Bila belum adalah jawabnya, sudah semestinya pendidikan karakter di sekolah harus dimulai dengan reorientasi niat para guru dalam mendidik dan mengajar.  

Untuk itu saya mengusulkan kepada Mendiknas agar kegiatan pelatihan semacam ESQ Pak Ary Ginanjar, Aa’ Gym, Mario Teguh dll supaya dimassalkan. Itu dimaksudkan agar kita tidak sia-sia mencanangkan suatu program yang sudah semestinya difahami dan dilakukan guru, namun hasilnya belum maksimal karena belum ada niat yang kuat, bahkan ada yang belum berniat sama sekali.

Faktor yang kedua, keteladanan merupakan satu-satunya jalan agar karakter anak benar-benar tertanam bila ia melihat sang guru adalah pelaku dari tindakan mulia yang sering ia nasehatkan. Orang Inggris punya pepatah Seeing is Believing (kita percaya karena melihat) sehingga pendidikan karakter yang ia berikan juga merupakan sebuah usaha mentransformasi diri untuk menjadi orang yang benar-benar memiliki karakter baik. Saat Utbah bin Abi Sufyan menyerahkan anaknya kepada pendidiknya, ia berwasiat,”Hendaklah usahamu dalam memperbaiki (perilaku) anakku engkau jadikan sebagai usaha memperbaiki (perilaku) dirimu sendiri, karena mata mereka terpaut pada matamu. Baik di mata mereka adalah apa yang engkau pandang baik, dan jelek di mata mereka adalah apa yang engkau pandang jelek” (Hasyim, 1994: 76).  Karakter pemaaf, toleransi, menghormati orang lain hanya bisa disampaikan oleh mereka yang memiliki karakter tersebut. Guru yang kurang bisa mengendalikan marah apalagi melecehkan siswa di depan teman-temannya tak kan mempan menanamkan karakter di atas pada siswanya.

 Bila faktor keteladanan para guru sudah mulai nampak, tentu tak bijak bila harus dirusak oleh mental birokrat yang kadang menghalalkan segala cara terutama dalam hal kelulusan siswa pada Ujian Nasional (UN). Bila guru mengajarkan kejujuran,maka semestinya jangan ada lagi guru, kepala sekolah, atau kepala dinas yang dengan dalih membantu siswa mengotak-atik nilai rapot, ujian sekolah dll, yang intinya adalah menghilangkan pendidikan karakter perihal jujur. Mungkin masih perlu waktu yang cukup lama untuk menanamkan karakter jujur pada siswa di sekolah bila para pengasuhnya juga tak melakukannya.

Faktor ketiga adalah doa. Di sekolah, hal ini seringkali hanya berupa ritual pembuka dan penutup pelajaran yang kurang bermakna. Penulis sering kali mengamati kegiatan berdoa yang dilakukan siswa kurang bersungguh-sungguh. Banyak di antara siswa belum siap berdoa namun telah dipimpin berdoa, jadinya hanya bagaikan koor doa tanpa penghayatan. Kadang terbersit pertanyaan pada penulis, apakah sang guru juga ikut berdoa khusuk saat itu? Andaikata sang guru benar-benar mau ngopeni hal yang kelihatan sepele ini tentu hasilnya jadi lain. Sebelum berdoa kepada siswa perlu ditanamkan hakekat doa sebagai sarana permohonan kepada Allah. Dan pada tingkatan SMP dan SMA, mestinya doa dilakukan pula saat pergantian guru mapel, meski dengan doa yang pendek. Nah, pada saat tertentu dan khusus sang guru perlu mendoakan siswa-siswanya. Hal ini bisa dilakukan setiap habis sholat fardlu atau setiap sholat tahajud. Bila ini dilakukan penulis berkeyakinan pendidikan karakter yang diberikan oleh sang guru akan dimasukkan oleh malaikat dalam alam bawah sadar siswa sebagai perilaku jadi (built-in character) yang tak mudah berubah.

Memang tak mudah untuk bisa menanamkan pendidikan karakter di sekolah. Pertama, guru harus selalu berniat mencari ridlo Allah. Ini adalah masalah mendudukkan tauhid bukan sekedar logika ekonomi. Namun percayalah Allah akan memberikan dan melapangkan rizki orang yang bertaqwa dari arah yang tidak disangka-sangka. Itu janji Tuhan, tinggal kita percaya atau tidak? Kedua, dengan berusaha memperbaiki perilaku guru dengan karakter-karakter baik, seperti pemaaf,  periang, toleran, taat ibadah, dll. sesungguhnya ia sedang melakukan pendidikan karakter pada siswa secara nyata.  Ketiga, doa guru sangat diperlukan untuk melapangkan jalan dalam bimbingan siswa untuk mengenal Allah. Bukankah karakter-karakter baik yang ingin ditanamkan pada anak didik tersebut hakekatnya adalah sifat-sifat Allah yang terkandung dalam asmaul husna? Untuk itu diharapkan ketulusan doa pengasuh terhadap anak didiknya akan mampu menggetarkan ‘Arasy guna memohon pada Allah akan kebaikan pada anak didiknya. Semoga pendidikan karakter kita benar-benar menjadi obat yang mujarab bagi keterpurukan moral sebagian pelajar kita yang terkena virus keduniawian. Semoga!

 Penulis: Muh. Muslih, S.Ag.,M.Pd
Ketua LP Maarif Kecamatan Muntilan
Share this article :

2 komentar:

  1. Dari dulu sebenarnya pendidikan karakter tanpa disadari juga sudah diterapkan di setiap jenjang sekolah.

    BalasHapus
  2. Memang sih, cuma akhir-akhir ini kita perlu mengingatkan kembali pada guru untuk niyat, memberi teladan dan mendoakan siswa-siswanya.

    BalasHapus

Cari Blog Ini

Labels

Pendapat Anda Tentang Blog Ini

SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG DI SITUS RESMI MWC LP MA'ARIF KEC MUNTILAN
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. LP MAARIF MUNTILAN - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template